politik
New Member
Mengedepankan retorika “api dan amarah” atas Korea Utara telah memberi dunia satu dosis ketakutan setiap harinya, dan menjadi inti kebijakan luar negeri Donald Trump. Apakah cara itu berhasil? Opini dan analisis oleh Mike Pearl.
Oleh: Mike Pearl (Vice)
Selama kampanye kepresidenan Donald Trump, Korea Utara hampir tak pernah disebut. Bintang reality show televisi itu tidak menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan kebijakan luar negeri—atau kebijakan apa pun, sungguh—dan dalam pidato besar “Amerika Pertama”-nya pada bulan April 2016 yang meliputi politik global, dia menyebutkan bahwa Korea Utara hanya sebagai masalah yang dibutuhkan AS untuk menekan China agar memecahkannya.
Saat itu, “Amerika Pertama” terdengar seperti isolasionisme kuno, atau bahkan mungkin semacam merkantilisme. Bagaimanapun, sepertinya Presiden Trump akan membawa AS ke dalam perang baru.
Gagasan bahwa Trump akan melupakan petualangan internasional dan fokus pada agenda domestik telah lama hilang. Para elang di Gedung Putih tampaknya gatal untuk memicu konflik langsung dengan Iran. Trump telah menambah kehadiran militer AS di Afghanistan. Penggunaan Pasukan Operasi Khusus terus meningkat. Yang paling mengerikan, sepertinya setiap hari ada pertanda baru bahwa perang dengan Korea Utara akan terjadi.
Korea Utara akan selalu menjadi masalah besar bagi Trump—itulah yang diperingatkan Barack Obama secara eksplisit kepada penerusnya tentang bahaya negara bersenjata nuklir tersebut. Sepanjang tahun pertama kepresidenan Trump, Korea Utara terus mengembangkan gudang senjata yang bisa menghancurkan kota-kota AS dengan menekan sebuah tombol. Yang menarik adalah peledakan bomb hidrogen pada bulan September—sebuah lompatan besar dalam hal pengembangan senjata nuklir—dan juga uji coba Hwasong-15 yang mengesankan pada bulan November, yang sepertinya bisa meledakkan kota manapun di AS.
Setiap langkah yang dibuat diktator Korea Utara Kim Jong kepada pengembangan nuklir telah dipicu oleh sebuah provokasi dari Trump. Pada bulan Agustus, Trump melancarkan serangan verbal-nya, “api dan amarah” yang terkenal—yang membuat takut semua orang kecuali Kim Jong-un, dan pada bulan September, dia memberi Kim nama panggilan yang bagus, yang dia dapatkan dari lagu Elton John, atau dari dialog Nicolas Cage di film The Rock.
Dalam suasana seperti ini, perang dengan Korea Utara—yang dulu tak terpikirkan mengingat risiko jatuhnya korban sipil besar-besaran di Korea dan Jepang—telah menjadi topik pembicaraan terbuka.
“Sekarang Waktunya Mengebomb Korea Utara,” kata sebuah artikel provokatif di Foreign Policy bulan ini. (Artikel tersebut, sebuah op-ed sadis oleh Edward Luttwak, berpendapat bahwa jika Seoul harus terus kehilangan korban sipil selama perang yang dipimpin oleh AS, itu hanyalah sebuah hukuman bagi bangsa mereka karena melakukan perencanaan yang buruk selama bertahun-tahun.)
Rodger Baker, yang menganalisis isu di Semenanjung Korea untuk perusahaan intelijen militer Statfor, menganggap perang masih belum dekat. Bagi AS, “nampaknya secara keseluruhan, biaya tindakan militer masih melampaui manfaatnya,” katanya kepada saya dalam sebuah wawancara telepon, menambahkan bahwa “orang Korea Utara tidak menginginkan perang.”
Pembicaraan bilateral bulan lalu antara Korea Utara dan Korea Selatan telah menjadi tanda nyata bahwa pergerakan ke arah sesuatu selain perang bukannya tidak mungkin. Hasil dari pembicaraan tersebut, sejauh ini, berpusat pada keputusan kedua negara untuk maju bersama di Olimpiade Musim Dingin, tapi itu lebih dari sekedar perlombaan.
Menurut Baker, Trump bisa saja menjadi faktor keputusan kedua negara untuk berdialog. “Dia tentu saja memberi kontribusi pada faktor-faktor yang menyebabkan Korea Utara melakukan dialog dengan Korea Selatan saat ini,” Baker mengatakan kepada saya, meskipun dia segera menambahkan bahwa waktunya juga “sesuai dengan situasi orang Korea Utara dalam program mereka”—jadi sangat mungkin kita bisa melihat pembicaraan seperti ini, tidak peduli siapa yang duduk di Gedung Putih.
Pandangan terakhir adalah perspektif Karl Friedhoff, seorang politikus luar negeri di Dewan Chicago tentang Urusan Global yang sebelumnya bekerja sebagai pengumpul suara opini publik di Korea Selatan. “Pada dasarnya, ditakdirkan bahwa Korea Utara akan bersikap baik sebelum Olimpiade,” Friedhoff mengatakan kepada saya, menambahkan, “Saya tidak berpikir (Trump) bertanggung jawab atas wujud atau bentuk apa pun untuk semua hal ini.”
Friedhoff tidak merasakan kekasaran dalam rencana Korea Utara Trump sebagai sesuatu yang baru. Apa yang dilakukan Trump adalah menghadirkan ancaman militer yang kredibel, seperti yang dilakukan oleh presiden masa lalu, dengan harapan sanksi benar-benar melukai rezim tersebut, dan kemudian, setelah formula tersebut selesai bekerja, akhirnya mereka akan “membawa Korea Utara kembali ke meja perundingan.”
Perbedaannya kali ini, menurut Friedhoff: “Sekarang kita memiliki seorang presiden yang relatif tidak menentu dalam perilakunya. Suatu hari dia akan membuat komentar api dan amarah, dan berikutnya dia akan keluar dan berkata, kita perlu negosiasi dan pembicaraan! Kita bisa bicara di mana saja dan kapan saja!”
Pada banyak isu kebijakan luar negeri, kompas ideologis Trump tampaknya berputar seperti baling-baling. Penggemarnya yang paling bersemangat, banyak di antaranya percaya bahwa dia akan menjadi presiden yang kurang intervensionis daripada Obama, menyaksikan dengan ngeri saat dia melemparkan rudal ke Suriah pada bulan April lalu dan mendekat ke Arab Saudi pada bulan Mei.
Trump belum bersikap sangat lunak terhadap Rusia seperti yang ditakuti banyak lawannya, tapi dia menghabiskan tahun pertamanya untuk membuat khawatir sekutu tradisional Amerika dengan retorikanya, mengancam untuk meninggalkan NAFTA, mengacaukan Departemen Luar Negeri, dan menyebabkan insiden internasional tanpa alasan—yang terakhir ketika dia dilaporkan menyebut negara Afrika sebagai “shithole.”
Namun, di atas semua itu, perspektif Trump terhadap dua rezim yang menjadi musuh utama Amerika yang paling gigih—Korea Utara dan Iran—tidak pernah benar-benar berubah. Program kebijakan luar negeri Trump yang paling jelas telah menjadi upaya bercabang yang bertujuan untuk mempertajam ketegangan dengan kedua negara.
Namun sementara Trump tampaknya siap untuk membatalkan kesepakatan nuklir dengan Iran dan dapat meningkatkan permusuhan atas negara tersebut, prospek perang dengan Korea Utara adalah hal yang benar-benar membuat orang Amerika takut pada bayang-bayang mereka sendiri. Tidak seperti Iran, Korea Utara memiliki senjata nuklir dan berpotensi untuk menggunakan mereka melawan AS, menciptakan salah satu situasi geopolitik paling rumit dan paling berisiko di dunia.
Sebuah laporan di New York Times pada hari Minggu (14/1) melukiskan gambaran suram tentang militer AS yang tidak bersemangat dan murung ketika menanggapi ide perang dengan Korea Utara, ketika melakukan latihan yang mensimulasikan kondisi tempur. Tapi Baker berkata kita mungkin tidak ingin membaca terlalu banyak tentang itu.
“Kami sudah tahu tentang pelatihan ini selama berbulan-bulan,” jelasnya. Dia mengatakan kepada saya kemunculan mereka (militer AS) dalam siklus berita sekarang masuk akal. “Dugaan saya adalah bahwa pemerintah (AS) semacam sengaja membiarkan cerita-cerita ini dirilis sekarang, hanya sebagai pengingat bahwa pembicaraan antar-Korea tidak berarti AS menghentikan persiapan perangnya.
Beberapa analis telah berspekulasi bahwa dengan Trump yang mengintai, perundingan antar-Korea tersebut dapat memperburuk pertengkaran antara Korea Selatan dan AS. Baker sepertinya juga tidak terlalu mengkhawatirkannya. Ya, Korea Utara pasti bisa mencoba membisikkan mimpi tentang masa depan indah yang bebas dari Amerika ke telinga Presiden Korea Selatan Moon Jae-In, tapi itu tidak mungkin membuat mereka terpisah jauh.
“Pada tahap ini, sulit untuk melihat sesuatu yang berpotensi melemahkan kekuatan AS yang juga tidak akan—dalam waktu dekat—merusak keamanan nasional Korea Selatan,” kata Baker.
Jadi pertanyaannya tetap: Adakah ide dan perbuatan unik Trump yang berimbas pada terbentuknya kesepakatan dengan Korea Utara? Sesuatu yang tak berani dicoba oleh presiden-presiden lainnya?
“Rumornya adalah bahwa ada perang dagang yang meradang dengan China, yang jika diteruskan, akan berdampak pada apa yang China lakukan dengan Korea Utara juga,” kata Friedhoff kepada saya.
Pada hari Selasa (16/1), Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson berada di Vancouver untuk berbicara dengan perwakilan-perwakilan dari semua negara yang bersekutu dengan AS selama Perang Korea. Langkahnya, Baker mengatakan kepada saya, dirancang untuk menciptakan “entitas sah yang semu.”
Namun, KTT tersebut membuat China kesal—tak diajak dalam perundingan—dan Rusia—negara lain yang disisihkan—mengutuk perundingan dengan menyebutnya sebagai “pola pikir Perang Dingin yang tidak tepat.”
Menurut Baker, inilah bagaimana tekanan sumber baru ini dimaksudkan untuk bekerja: Perundingan ini dirancang “untuk memberi tahu orang-orang China bahwa AS memiliki alternatif Dewan Keamanan PBB.” Meskipun ini mungkin bukan merupakan pertemuan formal PBB, ini adalah, “sesuatu yang berbau Perserikatan Bangsa-Bangsa,” dan sementara Dewan Keamanan PBB tampaknya tidak setuju bahwa Korea Utara adalah “negara agresif” (mungkin karena dewan tersebut mencakup Rusia dan China), kelompok negara pada KTT Vancouver itu pasti menganggapnya demikian.
“Jelas saat ini China dan Rusia tidak bertindak seolah-olah Korea Utara akan berperang,” dan pertemuan ini adalah cara untuk mengatakan bahwa hal itu perlu diubah, kata Baker.
Dalam jangka panjang, pertanyaan besarnya adalah apakah AS akan memutuskan bahwa hidup berdampingan dengan nuklir Korea Utara adalah sesuatu yang mungkin. Jika AS pada akhirnya bisa beralih dari ide ‘sama sekali tanpa nuklir’ atau ‘kami tak akan pernah berbicara dengan Anda’ dan ke dalam apa Baker menyebut “strategi penahanan jangka panjang,” maka, katanya, “akan ada banyak ruang untuk dialog.”
Akankah Trump memutuskan untuk melakukan perubahan itu, melupakan bulan-bulan yang dipenuhi tweet penuh amarah? Saya tidak berpikir siapa pun di dunia ini—mungkin bahkan Trump sendiri—akan tahu.
Sumber : matamatapolitik.com
Oleh: Mike Pearl (Vice)
Selama kampanye kepresidenan Donald Trump, Korea Utara hampir tak pernah disebut. Bintang reality show televisi itu tidak menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan kebijakan luar negeri—atau kebijakan apa pun, sungguh—dan dalam pidato besar “Amerika Pertama”-nya pada bulan April 2016 yang meliputi politik global, dia menyebutkan bahwa Korea Utara hanya sebagai masalah yang dibutuhkan AS untuk menekan China agar memecahkannya.
Saat itu, “Amerika Pertama” terdengar seperti isolasionisme kuno, atau bahkan mungkin semacam merkantilisme. Bagaimanapun, sepertinya Presiden Trump akan membawa AS ke dalam perang baru.
Gagasan bahwa Trump akan melupakan petualangan internasional dan fokus pada agenda domestik telah lama hilang. Para elang di Gedung Putih tampaknya gatal untuk memicu konflik langsung dengan Iran. Trump telah menambah kehadiran militer AS di Afghanistan. Penggunaan Pasukan Operasi Khusus terus meningkat. Yang paling mengerikan, sepertinya setiap hari ada pertanda baru bahwa perang dengan Korea Utara akan terjadi.
Korea Utara akan selalu menjadi masalah besar bagi Trump—itulah yang diperingatkan Barack Obama secara eksplisit kepada penerusnya tentang bahaya negara bersenjata nuklir tersebut. Sepanjang tahun pertama kepresidenan Trump, Korea Utara terus mengembangkan gudang senjata yang bisa menghancurkan kota-kota AS dengan menekan sebuah tombol. Yang menarik adalah peledakan bomb hidrogen pada bulan September—sebuah lompatan besar dalam hal pengembangan senjata nuklir—dan juga uji coba Hwasong-15 yang mengesankan pada bulan November, yang sepertinya bisa meledakkan kota manapun di AS.
Setiap langkah yang dibuat diktator Korea Utara Kim Jong kepada pengembangan nuklir telah dipicu oleh sebuah provokasi dari Trump. Pada bulan Agustus, Trump melancarkan serangan verbal-nya, “api dan amarah” yang terkenal—yang membuat takut semua orang kecuali Kim Jong-un, dan pada bulan September, dia memberi Kim nama panggilan yang bagus, yang dia dapatkan dari lagu Elton John, atau dari dialog Nicolas Cage di film The Rock.
Dalam suasana seperti ini, perang dengan Korea Utara—yang dulu tak terpikirkan mengingat risiko jatuhnya korban sipil besar-besaran di Korea dan Jepang—telah menjadi topik pembicaraan terbuka.
“Sekarang Waktunya Mengebomb Korea Utara,” kata sebuah artikel provokatif di Foreign Policy bulan ini. (Artikel tersebut, sebuah op-ed sadis oleh Edward Luttwak, berpendapat bahwa jika Seoul harus terus kehilangan korban sipil selama perang yang dipimpin oleh AS, itu hanyalah sebuah hukuman bagi bangsa mereka karena melakukan perencanaan yang buruk selama bertahun-tahun.)
Rodger Baker, yang menganalisis isu di Semenanjung Korea untuk perusahaan intelijen militer Statfor, menganggap perang masih belum dekat. Bagi AS, “nampaknya secara keseluruhan, biaya tindakan militer masih melampaui manfaatnya,” katanya kepada saya dalam sebuah wawancara telepon, menambahkan bahwa “orang Korea Utara tidak menginginkan perang.”
Pembicaraan bilateral bulan lalu antara Korea Utara dan Korea Selatan telah menjadi tanda nyata bahwa pergerakan ke arah sesuatu selain perang bukannya tidak mungkin. Hasil dari pembicaraan tersebut, sejauh ini, berpusat pada keputusan kedua negara untuk maju bersama di Olimpiade Musim Dingin, tapi itu lebih dari sekedar perlombaan.
Menurut Baker, Trump bisa saja menjadi faktor keputusan kedua negara untuk berdialog. “Dia tentu saja memberi kontribusi pada faktor-faktor yang menyebabkan Korea Utara melakukan dialog dengan Korea Selatan saat ini,” Baker mengatakan kepada saya, meskipun dia segera menambahkan bahwa waktunya juga “sesuai dengan situasi orang Korea Utara dalam program mereka”—jadi sangat mungkin kita bisa melihat pembicaraan seperti ini, tidak peduli siapa yang duduk di Gedung Putih.
Pandangan terakhir adalah perspektif Karl Friedhoff, seorang politikus luar negeri di Dewan Chicago tentang Urusan Global yang sebelumnya bekerja sebagai pengumpul suara opini publik di Korea Selatan. “Pada dasarnya, ditakdirkan bahwa Korea Utara akan bersikap baik sebelum Olimpiade,” Friedhoff mengatakan kepada saya, menambahkan, “Saya tidak berpikir (Trump) bertanggung jawab atas wujud atau bentuk apa pun untuk semua hal ini.”
Friedhoff tidak merasakan kekasaran dalam rencana Korea Utara Trump sebagai sesuatu yang baru. Apa yang dilakukan Trump adalah menghadirkan ancaman militer yang kredibel, seperti yang dilakukan oleh presiden masa lalu, dengan harapan sanksi benar-benar melukai rezim tersebut, dan kemudian, setelah formula tersebut selesai bekerja, akhirnya mereka akan “membawa Korea Utara kembali ke meja perundingan.”
Perbedaannya kali ini, menurut Friedhoff: “Sekarang kita memiliki seorang presiden yang relatif tidak menentu dalam perilakunya. Suatu hari dia akan membuat komentar api dan amarah, dan berikutnya dia akan keluar dan berkata, kita perlu negosiasi dan pembicaraan! Kita bisa bicara di mana saja dan kapan saja!”
Pada banyak isu kebijakan luar negeri, kompas ideologis Trump tampaknya berputar seperti baling-baling. Penggemarnya yang paling bersemangat, banyak di antaranya percaya bahwa dia akan menjadi presiden yang kurang intervensionis daripada Obama, menyaksikan dengan ngeri saat dia melemparkan rudal ke Suriah pada bulan April lalu dan mendekat ke Arab Saudi pada bulan Mei.
Trump belum bersikap sangat lunak terhadap Rusia seperti yang ditakuti banyak lawannya, tapi dia menghabiskan tahun pertamanya untuk membuat khawatir sekutu tradisional Amerika dengan retorikanya, mengancam untuk meninggalkan NAFTA, mengacaukan Departemen Luar Negeri, dan menyebabkan insiden internasional tanpa alasan—yang terakhir ketika dia dilaporkan menyebut negara Afrika sebagai “shithole.”
Namun, di atas semua itu, perspektif Trump terhadap dua rezim yang menjadi musuh utama Amerika yang paling gigih—Korea Utara dan Iran—tidak pernah benar-benar berubah. Program kebijakan luar negeri Trump yang paling jelas telah menjadi upaya bercabang yang bertujuan untuk mempertajam ketegangan dengan kedua negara.
Namun sementara Trump tampaknya siap untuk membatalkan kesepakatan nuklir dengan Iran dan dapat meningkatkan permusuhan atas negara tersebut, prospek perang dengan Korea Utara adalah hal yang benar-benar membuat orang Amerika takut pada bayang-bayang mereka sendiri. Tidak seperti Iran, Korea Utara memiliki senjata nuklir dan berpotensi untuk menggunakan mereka melawan AS, menciptakan salah satu situasi geopolitik paling rumit dan paling berisiko di dunia.
Sebuah laporan di New York Times pada hari Minggu (14/1) melukiskan gambaran suram tentang militer AS yang tidak bersemangat dan murung ketika menanggapi ide perang dengan Korea Utara, ketika melakukan latihan yang mensimulasikan kondisi tempur. Tapi Baker berkata kita mungkin tidak ingin membaca terlalu banyak tentang itu.
“Kami sudah tahu tentang pelatihan ini selama berbulan-bulan,” jelasnya. Dia mengatakan kepada saya kemunculan mereka (militer AS) dalam siklus berita sekarang masuk akal. “Dugaan saya adalah bahwa pemerintah (AS) semacam sengaja membiarkan cerita-cerita ini dirilis sekarang, hanya sebagai pengingat bahwa pembicaraan antar-Korea tidak berarti AS menghentikan persiapan perangnya.
Beberapa analis telah berspekulasi bahwa dengan Trump yang mengintai, perundingan antar-Korea tersebut dapat memperburuk pertengkaran antara Korea Selatan dan AS. Baker sepertinya juga tidak terlalu mengkhawatirkannya. Ya, Korea Utara pasti bisa mencoba membisikkan mimpi tentang masa depan indah yang bebas dari Amerika ke telinga Presiden Korea Selatan Moon Jae-In, tapi itu tidak mungkin membuat mereka terpisah jauh.
“Pada tahap ini, sulit untuk melihat sesuatu yang berpotensi melemahkan kekuatan AS yang juga tidak akan—dalam waktu dekat—merusak keamanan nasional Korea Selatan,” kata Baker.
Jadi pertanyaannya tetap: Adakah ide dan perbuatan unik Trump yang berimbas pada terbentuknya kesepakatan dengan Korea Utara? Sesuatu yang tak berani dicoba oleh presiden-presiden lainnya?
“Rumornya adalah bahwa ada perang dagang yang meradang dengan China, yang jika diteruskan, akan berdampak pada apa yang China lakukan dengan Korea Utara juga,” kata Friedhoff kepada saya.
Pada hari Selasa (16/1), Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson berada di Vancouver untuk berbicara dengan perwakilan-perwakilan dari semua negara yang bersekutu dengan AS selama Perang Korea. Langkahnya, Baker mengatakan kepada saya, dirancang untuk menciptakan “entitas sah yang semu.”
Namun, KTT tersebut membuat China kesal—tak diajak dalam perundingan—dan Rusia—negara lain yang disisihkan—mengutuk perundingan dengan menyebutnya sebagai “pola pikir Perang Dingin yang tidak tepat.”
Menurut Baker, inilah bagaimana tekanan sumber baru ini dimaksudkan untuk bekerja: Perundingan ini dirancang “untuk memberi tahu orang-orang China bahwa AS memiliki alternatif Dewan Keamanan PBB.” Meskipun ini mungkin bukan merupakan pertemuan formal PBB, ini adalah, “sesuatu yang berbau Perserikatan Bangsa-Bangsa,” dan sementara Dewan Keamanan PBB tampaknya tidak setuju bahwa Korea Utara adalah “negara agresif” (mungkin karena dewan tersebut mencakup Rusia dan China), kelompok negara pada KTT Vancouver itu pasti menganggapnya demikian.
“Jelas saat ini China dan Rusia tidak bertindak seolah-olah Korea Utara akan berperang,” dan pertemuan ini adalah cara untuk mengatakan bahwa hal itu perlu diubah, kata Baker.
Dalam jangka panjang, pertanyaan besarnya adalah apakah AS akan memutuskan bahwa hidup berdampingan dengan nuklir Korea Utara adalah sesuatu yang mungkin. Jika AS pada akhirnya bisa beralih dari ide ‘sama sekali tanpa nuklir’ atau ‘kami tak akan pernah berbicara dengan Anda’ dan ke dalam apa Baker menyebut “strategi penahanan jangka panjang,” maka, katanya, “akan ada banyak ruang untuk dialog.”
Akankah Trump memutuskan untuk melakukan perubahan itu, melupakan bulan-bulan yang dipenuhi tweet penuh amarah? Saya tidak berpikir siapa pun di dunia ini—mungkin bahkan Trump sendiri—akan tahu.
Sumber : matamatapolitik.com