Jon E8
Member
Kamu pernah nggak sih ngerasa senang banget waktu postinganmu banyak yang like, atau agak kecewa pas story cuma dilihat segelintir orang? Tenang, kamu nggak sendirian. Hampir semua orang pernah berada di posisi itu. Rasa ingin diperhatikan atau diapresiasi sebenarnya hal yang manusiawi banget. Tapi, kalau berlebihan, bisa bikin kita capek sendiri, lho. Yuk, coba kita bahas bareng kenapa kita bisa “haus perhatian” dan gimana cara mengelolanya biar tetap sehat.
Sebenarnya, Kenapa Kita Butuh Perhatian?
Dari kecil, kita tumbuh dengan kebutuhan untuk diakui. Saat anak kecil dapat pujian karena bisa menggambar atau nilai ujiannya bagus, dia merasa bahagia dan termotivasi. Nah, hal itu kebawa sampai dewasa — cuma bentuknya aja yang berubah.
Bedanya, sekarang “panggungnya” bukan lagi di rumah atau sekolah, tapi di dunia digital. Media sosial jadi tempat di mana perhatian dan pengakuan sering diukur lewat angka: jumlah like, komentar, atau follower. Kadang, tanpa sadar, kita mulai mengaitkan harga diri dengan seberapa besar respons orang lain terhadap apa yang kita bagikan.
Contoh yang Dekat dengan Kita
Bayangin kamu habis unggah foto hasil liburan. Kamu bangga banget karena fotonya bagus dan momennya spesial. Tapi begitu posting, engagement-nya kecil banget. Rasanya kayak… “Lho, kok nggak ada yang notice sih?” Padahal sebelumnya kamu semangat banget pas ngedit dan nulis caption-nya.
Di sisi lain, ketika postingan temanmu viral, kamu mulai membandingkan diri sendiri: “Kok postingan aku nggak pernah ramai kayak dia, ya?” Lama-lama, muncul rasa minder dan keinginan buat tampil lebih menarik supaya dapat lebih banyak perhatian. Nah, di sinilah “haus perhatian” bisa mulai muncul tanpa disadari.
Beda Antara Ingin Diperhatikan dan Haus Perhatian
Penting banget buat bedain dua hal ini. Ingin diperhatikan itu normal, karena manusia memang makhluk sosial. Tapi kalau sampai selalu butuh validasi dari orang lain untuk merasa berharga, itu bisa jadi tanda kamu lagi terlalu menggantungkan kebahagiaan pada penilaian eksternal.
Misalnya, kamu baru merasa puas setelah orang lain bilang kamu keren, cantik, atau sukses. Kalau nggak ada yang komentar, kamu langsung merasa gagal. Padahal, seharusnya nilai diri kita nggak ditentukan dari seberapa banyak orang yang setuju, tapi dari bagaimana kita menilai dan menghargai diri sendiri.
Kenapa Haus Perhatian Bisa Bikin Capek
Kebiasaan mencari perhatian terus-menerus bisa jadi melelahkan, karena ekspektasi itu nggak ada habisnya. Begitu kamu dapat perhatian, kamu pengen lebih banyak lagi. Akhirnya, tanpa sadar kamu masuk ke lingkaran yang bikin stres.
Selain itu, haus perhatian bisa bikin hubungan sosial jadi kurang tulus. Karena fokusnya bukan lagi pada koneksi atau komunikasi, tapi pada bagaimana cara terlihat menarik di mata orang lain. Akibatnya, kamu jadi sulit menikmati momen apa adanya, karena pikiranmu sibuk mikirin impresi yang kamu tinggalkan.
Cara Pelan-Pelan Mengatasinya
Tenang, kamu nggak harus langsung berubah total. Tapi ada beberapa langkah kecil yang bisa dicoba:
Yuk, Belajar Lebih Nyaman dengan Diri Sendiri
Kita semua butuh perhatian, tapi jangan sampai kebutuhan itu berubah jadi ketergantungan. Belajar nyaman dengan diri sendiri bisa bantu kamu lebih tenang dan nggak mudah terpengaruh oleh opini luar.
Karena pada akhirnya, perhatian yang paling penting datang dari diri kita sendiri — bagaimana kita menghargai proses, bukan hanya hasil.
Kalau kamu tertarik memahami lebih dalam soal kebutuhan akan pengakuan dan bagaimana hal itu bisa memengaruhi pola pikir, kamu bisa baca artikel ini: Haus Validasi: Artinya dan Dampaknya pada Pola Pikir Modern.
Sebenarnya, Kenapa Kita Butuh Perhatian?
Dari kecil, kita tumbuh dengan kebutuhan untuk diakui. Saat anak kecil dapat pujian karena bisa menggambar atau nilai ujiannya bagus, dia merasa bahagia dan termotivasi. Nah, hal itu kebawa sampai dewasa — cuma bentuknya aja yang berubah.
Bedanya, sekarang “panggungnya” bukan lagi di rumah atau sekolah, tapi di dunia digital. Media sosial jadi tempat di mana perhatian dan pengakuan sering diukur lewat angka: jumlah like, komentar, atau follower. Kadang, tanpa sadar, kita mulai mengaitkan harga diri dengan seberapa besar respons orang lain terhadap apa yang kita bagikan.
Contoh yang Dekat dengan Kita
Bayangin kamu habis unggah foto hasil liburan. Kamu bangga banget karena fotonya bagus dan momennya spesial. Tapi begitu posting, engagement-nya kecil banget. Rasanya kayak… “Lho, kok nggak ada yang notice sih?” Padahal sebelumnya kamu semangat banget pas ngedit dan nulis caption-nya.
Di sisi lain, ketika postingan temanmu viral, kamu mulai membandingkan diri sendiri: “Kok postingan aku nggak pernah ramai kayak dia, ya?” Lama-lama, muncul rasa minder dan keinginan buat tampil lebih menarik supaya dapat lebih banyak perhatian. Nah, di sinilah “haus perhatian” bisa mulai muncul tanpa disadari.
Beda Antara Ingin Diperhatikan dan Haus Perhatian
Penting banget buat bedain dua hal ini. Ingin diperhatikan itu normal, karena manusia memang makhluk sosial. Tapi kalau sampai selalu butuh validasi dari orang lain untuk merasa berharga, itu bisa jadi tanda kamu lagi terlalu menggantungkan kebahagiaan pada penilaian eksternal.
Misalnya, kamu baru merasa puas setelah orang lain bilang kamu keren, cantik, atau sukses. Kalau nggak ada yang komentar, kamu langsung merasa gagal. Padahal, seharusnya nilai diri kita nggak ditentukan dari seberapa banyak orang yang setuju, tapi dari bagaimana kita menilai dan menghargai diri sendiri.
Kenapa Haus Perhatian Bisa Bikin Capek
Kebiasaan mencari perhatian terus-menerus bisa jadi melelahkan, karena ekspektasi itu nggak ada habisnya. Begitu kamu dapat perhatian, kamu pengen lebih banyak lagi. Akhirnya, tanpa sadar kamu masuk ke lingkaran yang bikin stres.
Selain itu, haus perhatian bisa bikin hubungan sosial jadi kurang tulus. Karena fokusnya bukan lagi pada koneksi atau komunikasi, tapi pada bagaimana cara terlihat menarik di mata orang lain. Akibatnya, kamu jadi sulit menikmati momen apa adanya, karena pikiranmu sibuk mikirin impresi yang kamu tinggalkan.
Cara Pelan-Pelan Mengatasinya
Tenang, kamu nggak harus langsung berubah total. Tapi ada beberapa langkah kecil yang bisa dicoba:
- Kenali niatmu sebelum berbagi.
Saat mau posting sesuatu, tanya dulu ke diri sendiri: “Aku mau berbagi karena pengen senang atau karena pengen diakui?”
- Rayakan hal-hal kecil secara pribadi.
Nggak semua pencapaian harus diumumkan ke publik. Kadang, cukup nikmati sendiri atau bagikan ke orang terdekat yang benar-benar peduli.
- Kurangi waktu di media sosial.
Coba ambil jeda kecil dari dunia digital. Rasakan gimana tenangnya hidup tanpa terus mengecek notifikasi.
- Bangun rasa percaya diri dari dalam.
Coba fokus pada proses, bukan hasil. Kalau kamu tahu apa yang kamu lakukan bermakna, pengakuan dari luar jadi bonus, bukan kebutuhan utama.
Yuk, Belajar Lebih Nyaman dengan Diri Sendiri
Kita semua butuh perhatian, tapi jangan sampai kebutuhan itu berubah jadi ketergantungan. Belajar nyaman dengan diri sendiri bisa bantu kamu lebih tenang dan nggak mudah terpengaruh oleh opini luar.
Karena pada akhirnya, perhatian yang paling penting datang dari diri kita sendiri — bagaimana kita menghargai proses, bukan hanya hasil.
Kalau kamu tertarik memahami lebih dalam soal kebutuhan akan pengakuan dan bagaimana hal itu bisa memengaruhi pola pikir, kamu bisa baca artikel ini: Haus Validasi: Artinya dan Dampaknya pada Pola Pikir Modern.